Pages

Selasa, 02 Maret 2010

BISU, TULI, BUTA, TEMAN DAN HARAPAN

Mengikuti pendidikan yang melelahkan……. ya sangat melelahkan……. Kenapa melelahkan ? tentu saja melelahkan karena selama 18 bulan tersebut pada saat yang bersamaan pula isteri tercinta mengikuti pendidikan (untungnya pada kota yang sama). Dengan membawa dua anak saya Jevon dan Jeco serta istri yang sedang hamil, dan pada masa tersebut lahir anak bungsu kami Jo, bisa dibayangkan repotnya……….......…. belajar…..........…… menyelesaikan tugas……… menjaga anak yang ternyata sering menderita sakit (setiap bulan ada aja diantara mereka yang sakit).



Khusus yang bungsu pernah hampir tidak tertolong karena step, membawa dari rumah di komplek Kopo Permai untuk dibawa ke RS Imannuel dengan melalui Jl. Terusan Cibaduyut dan Jl. Cibaduyut yang kita tahu tempat biang macetnya di Bandung. Terima kasih Tuhan…............…. Terima kasih Dokter anak yang saya lupa namanya (katanya dokter tersebut lulusan terbaik angkatannya di UI)……......... Terima kasih Bapa Nanda (Heriyanson) yang nyetir dengan tenang sehingga sampai di RS Imannuel dengan selamat.
         Suatu ketika istri belajar di kampusnya, diluar saya menggendong sibungsu Jo sampai tertidur, setelah tidur mesti dijaga karena disekitar kampus banyak nyamuk. Ada juga kalanya anak-anak ikut ke kampus saya dan menunggu di tempat parkir, ketika istirahat belajar saya menemui mereka. Isteri juga tidak kalah capeknya, disamping ngurus 3 anak kami, juga mengurus suaminya “bayi yang tidak pernah dewasa”, sialnya lagi penjaga anak selalu berganti-ganti, ada yang bertahan 3 bulan, ada yang 3 minggu ada yang 2 hari terus menghilang. Hanya satu yang bertahan cukup lama yaitu Merry, seorang remaja dari Desa Bereng Kalingu Kabupaten Pulang Pisau, walaupun pada akhirnya berhenti karena bekerja di pabrik Roti. Kami sekeluarga sangat berterima kasih kepada Merry yang telah membantu kami selama periode 1 tahun tersebut. Untung neneknya (mertua) bisa membantu menjaga salah satu anak kami di Palangkaraya.
Kriiiiiiiing….. Saya baru saja menyelesaikan pendidikan tersebut ketika telepon saya berbunyi. “Halo Pak” kata saya, karena ternyata atasan saya Pak Asiel J. Sawong (Kasubdin Pengairan) yang kala itu sedang berada di Jakarta menelepon saya.
“Free..” kata Pak Asiel.
“Pak Basuki (Dirjen Pengairan Dep.PU) menawarkan kepada kita untuk mengikuti pelatihan di Jepang melalui bantuan JICA”, “Kamu saja yang berangkat” katanya melanjutkan.
“Berapa lama Pak” kata saya
“Mungkin sekitar 2 minggu saja, saya juga belum tahu” kata Pak Asiel
“Kalau ngak lama bisa saja Pak” kata saya, karena saya baru saja selesai pendidikan, jadi kondisi otak lagi jenuh, ibarat mesin perlu overhaul dulu.
“Segera siapkan berkas Free” lanjut Pak Asiel
“Iya Pak” kata saya, tapi saya lupa kalau kemampuan bahasa Inggris saya sangat payah, TOEFL saya hanya 364 (kata teman saya di Bandung tilu ganap opat), kata dosen saya sama dengan kemampuan lulusan TK saja. Singkat cerita, berkas-berkas telah lengkap dan dikirim ke JICA Jakarta.
Dan suatu saat ketika saya menghadiri rapat di Dinas Pertanian, ada seseorang menelpon saya “Halo…, ini Free ya” kata orang diseberang sana (ternyata petugas dari JICA-Indonesia).
“Ya.. saya sendiri” sahutku, ternyata dia ingin menguji kemampuan bahasa inggris saya sehingga dapat mengetahui apakah saya dapat mengikuti pelatihan nantinya atau tidak, dan baru kemudian saya tahu bahwa saya masuk kategori “fair” dengan istilah dia saya berbahasa inggris secara Indonesia (sama saja dengan ngga bisa he…he….).
Pada minggu berikutnya saya diberitahukan oleh Pihak Departemen PU bahwa saya diterima, dan agar segera melengkapi berkas pembuatan Paspor. Baru setelah itu saya tahu bahwa pelatihan dilaksanakan selama 5 bulan, busyet …….. kalau tau selama itu pasti saya tidak akan berangkat. Ada terbersit untuk membatalkan berangkat, tapi semua persyaratan telah siap semua. Jadilah saya berangkat tetapi dengan hati yang tidak ikhlas.
Sekitar pukul 22.00 WIB (harinya lupa….) saya sudah berada diruang tunggu Bandara Cengkareng. Di sekitar saya tidak ada teman yang saya kenal. Keringat dingin sudah mulai keluar, karena ini adalah saat pertama kali ke luar negeri, berangkat sendiri lagi, sehingga tidak ada teman berdiskusi (sebelumnya memang, pihak JICA sudah memberi pembekalan pengetahuan tata cara perjalanan sampai dengan tujuan). Samar-samar ada juga yang bercanda ria dalam bahasa Indonesia, tetapi lebih banyak berbicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Badan sudah tambah lesu, semangat sudah menurun, hingga akhirnya sekitar pukul 24.00 WIB pesawat JAL membawa saya terbang ke Negeri Sakura. Didalam pesawat mulai ada hambatan dalam komunikasi, hanya untuk bertanya dimana toilet saja hampir ngga bisa, karena memang selama hidup tidak pernah berkomunikasi dalam bahasa inggris (kecuali pada saat diuji oleh petugas JICA). Karena memang harus ke belakang akhirnya saya nekad nanya dengan pramugari (orang jepang) hanya dengan satu kata “Toilet?”, pada waktu itu saya tidak jelas apa yang dia katakan, saya hanya mengikuti arah telunjuknya saja (ternyata setelah beberapa lama saya berfikir baru saya tahu kalau dia mengatakan “over there” dengan logat Jepang).

Pagi sekitar jam 07.00 WIB saya tiba di Bandara Narita saya dijemput oleh petugas JICA, selanjutnya dilayani sampai saya naik taksi yang akan membawa saya ke Tsukuba International Center (TBIC), selama di taksi saya ingin mencoba bahasa inggris saya, namun ternyata sopir taksi tidak bisa berbahasa inggris. Jadilah selama perjalanan saya ngelamun dan menyesali kenapa mau berangkat. Kurang lebih selama 45 menit saya sampai disuatu bangunan yang mirip hotel (kemudian baru saya tahu tempat itu adalah TBIC), kemudian saya disuruh melapor ke front desk, dan selanjutnya terjadi diskusi singkat dengan petugas front desk (berikutnya saya tahu namanya Ikuta San) karena saya tidak begitu jelas dengan apa yang dia katakan (maklum listening-ku buruk he…he…), dan dia memberikan kunci (kamar) serta menunjuk arah kamar yang akan saya tempati. Bangunan tersebut terdiri dari 5 lantai yang digunakan khusus menampung peserta pelatihan.
Perlahan saya berjalan membawa koper saya menuju kamar saya, dan tibalah saya di kamar yang saya ingat betul nomornya 134 (berada di lantai 1 sayap kanan bangunan), ketika membuka pintu kamar……… yang kelihatan pertama adalah meja belajar, muncul trauma….. karena baru saja saya menyelesaikan pendidikan dan sebenarnya untuk sementara tidak ingin membebani otak terlalu berat untuk belajar lagi, sehingga stress saya bertambah. Dan saya masuk ke dalam, disamping meja belajar ada ranjang, di kamar tersebut ada fasilitas heater, kamar mandi dengan bathtub yang dilengkapi air panas dingin, helm (ternyata digunakan jika terjadi gempa), lemari pakaian dll, mencuci dan setrika diruang khusus yang digunakan bersama penginap/peserta lainnya ukuran kamar kira-kira 3x4 meter.
Setelah makan siang saya mengunci diri di kamar, menonton televisi yang tidak saya mengerti arti bahasanya. Saya bungkus badan dengan selimut dan berbaring di ranjang. Badan mulai berkeringat tapi suhu badan terasa dingin. Ingin pulang tidak mungkin………… bertahanpun tidak sanggup……… STRESS……….(maklum orang kampung he…he….) Karena kondisi begini akan saya jalankan selama 5 bulan…….. alias sekitar 150 hari………. alias 3.600 jam…………. alias 216.000 menit………… alias 12.960.000 detik……..

Sampai kira-kira pukul 18.00 waktu setempat ada yang mengetok pintu kamar saya. Saya berfikir koq ya ada orang mengganggu secepat ini….. perlahan saya kearah pintu dan membukanya………….. Ternyata begitu membuka pintu berdirilah seseorang yang sangat  saya kenal…….. Cak Murod (begitu saya panggil dia yang nama lengkapnya Khoirul Murod). Teman saya selama 18 bulan di Bandung. Begitu melihat Cak Murod, seketika itu saya hampir menangis………. terharu…… senang …….. bercampur aduk jadi satu dan seketika itu pula semangat ini naik menjadi 100%.
Begitulah pada periode tersebut bagaimana saya sebagai seorang yang bisu karena tidak bisa berbicara, tuli karena saya tidak mengerti apa yang orang katakan kepada saya dan buta karena saya belum pernah ke negeri orang, namun karena ada seorang teman maka saya bisa melanjutkan aktivitas di TBIC. Menjelang akhir pelatihan saya menulis di buku kenangan (khusus untuk warga Indonesia yang pernah tinggal di TBIC), yaitu harapan saya semoga anak-anak saya bisa membaca tulisan saya di buku kenangan tersebut.

Palangkaraya, 3 Januari 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar